Thursday, November 24, 2022

suku badui

 

Suku Badui

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Orang Badui
Urang Kanékés
Raiyani Muharramah-Pakaian badui luar DSCF2964.jpg
Kelompok suku Badui luar
Daerah dengan populasi signifikan
Bantenca.  26.000 jiwa
Bahasa
Sunda Badui
Agama
Sunda Wiwitan , Islam minoritas 
Etnis terkait
Sunda Banten  dan kelompok masyarakat Sunda yang lainnya  

Suku Badui  ( Bahasa Badui : Urang Kanékés ; atau kadang hanya sering disebut Badui ; terkadang ditulis secara tidak baku sebagai Baduy ) [1] merupakan masyarakat adat dan sub-etnis dari suku Sunda di wilayah pedalaman Kabupaten Lebak , Provinsi Banten . Populasi mereka sekitar 26.000 orang, mereka merupakan salah satu kelompok masyarakat yang menutup diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk memperkuat, khususnya penduduk wilayah Badui Dalam .           

Badui termasuk dalam suku Sunda , mereka dianggap sebagai suku Sunda yang belum terpengaruh modernisasi atau kelompok yang hampir sepenuhnya terasing dari dunia luar.   

Masyarakat Badui menolak istilah “ wisata ” atau “pariwisata” untuk mendeskripsikan kampung-kampung mereka. Sejak tahun 2007, untuk mendeskripsikan wilayah mereka serta untuk menjaga kesakralan wilayah tersebut, masyarakat Badui memperkenalkan istilah “Saba Budaya Badui”, yang bermakna “Silaturahmi Kebudayaan Badui”. [2]

Etimologi [ sunting  |  sunting sumber ]

Sebutan "Badui" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Badui dan Gunung Badui yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu pada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).        

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia , penulisan yang tepat adalah "Badui", bukan "Baduy". [1] 

Wilayah [ sunting  |  sunting sumber ]

Bangunan rumah adat warga Badui Luar

Suku Badui bermukim di wilayah di Desa Kanekes , Kecamatan Leuwidamar , Kabupaten Lebak . Permukimannya mengalami perubahan di daerah aliran sungai pada sungai Ciujung yang termasuk dalam wilayah Cagar Budaya Pegunungan Kendeng . [3] Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27'27” – 6°30'0” LS dan 108°3'9” – 106°4'55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng yang berjarak sekitar 40 km dari Kota Rangkasbitung          . Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C. [ butuh rujukan ]

Tiga desa utama Kanekes Dalam adalah Cikeusik , Cikertawana , dan Cibeo . [ butuh rujukan ]   

Bahasa [ sunting  |  sunting sumber ]

Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda dialek Badui . Untuk berkomunikasi dengan penduduk di luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak memiliki pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita leluhur hanya tertinggal di dalam tuturan lisan saja. 

Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, meskipun sejak era Soeharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak upaya pemerintah tersebut. Namun masyarakat Kanekes memiliki caranya sendiri untuk belajar serta mengembangkan wawasan mereka hingga cocok dengan masyarakat di luar suku Badui.  

Kelompok masyarakat [ sunting  |  sunting sumber ]

Orang Kanekes pada tahun 2010 

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu , panamping , dan dangka (Permana, 2001).    

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Badui Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum ) serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.   

Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh Orang Kanekes Dalam antara lain:

  • Tidak dipersyaratkan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  • Pintu rumah harus menghadap utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)  
  • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.

Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Badui Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap (warna tarum ).     

Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:  

  • Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
  • Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
  • Menikah dengan anggota Kanekes Luar

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar

  • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
  • Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam
  • Memakai pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  • Gunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
  • Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
  • Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah yang cukup signifikan.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam zona penyangga atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).  

Asal usul [ sunting  |  sunting sumber ]

Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920

Menurut kepercayaan mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes, memiliki tugas bertapa atau asketik ( mandita ) untuk menjaga keharmonisan dunia.  

Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 didirikan di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa          ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah pedalaman pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut Pangeran Pucuk Umun berpendapat bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu disarankan sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan hutang yang lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Penempatan pasukan dengan pekerjaan yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa dugaan bahwa pada masa lalu,

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan penelitian kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang memiliki daya tolak yang kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Badui merupakan penduduk lokal yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (      wiwitan =asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan . 

Lukisan seorang Badui di Rijksmuseum Amsterdam tahun sekitar 1816 - 1846   

Keyakinan [ sunting  |  sunting sumber ]

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan , ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam ( animisme ). Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu , Buddha , dan kemudian dari ajaran Islam .        

Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan mengatasi alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya hiruk pikuk atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung  (panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).

Tabu  tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian , bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan menjadi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak , tidak membuat terasering , hanya menanam dengan tugal , yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah kanekes sering kali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.      

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas , yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima , yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli . Hanya Pu'un   atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu gumpalan tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil dengan baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).

Bagi sebagian kalangan, terkait dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam . 

Pemerintahan [ sunting  |  sunting sumber ]

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat budaya yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut jaro pamarentah , yang ada di bawah camat , sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".  

Struktur pemerintahan Kanekes

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu . Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.   

Mata pasangan [ sunting  |  sunting sumber ]

Istilah yang telah berlangsung selama ratusan tahun, maka mata masalah utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma . Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji , serta madu hutan.      

Interaksi dengan masyarakat luar [ sunting  |  sunting sumber ]

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya kepada Gubernur Jawa Barat), melalui Bupati Lebak di Kota Rangkasbitung         . Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya di sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter , sekarang ini telah menguras mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak . Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.    

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak boleh menggunakan sabun, sampo atau sikat gigi dengan pasta gigi di sungai, tidak boleh membuang sampah sembarangan sembarangan. Namun, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar di sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapat tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

0 comments:

Post a Comment