Thursday, November 24, 2022

kesultanan mataram

 

Kesultanan Mataram

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Mataram

ꦤꦴꦒꦫꦷꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀​ꦩꦠꦫꦴꦩ꧀
نَاڬَارِي كَسُلْطَانَن مَاتَارَام
15861–1755
Bendera Mataram Islam
Bendera
Mataram Sultanate in Sultan Agung Reign id.svg
Peta wilayah Kesultanan Mataram
Ibu kotaKutagede
(1586-1613)
Karta
(1613–1645)
Plered
(1646–1680)
Kartasura
(1680–1745)
Jawa
Bahasa yang diakuiBagongan
Agama
Islam
DemonimMatawis
PemerintahanMonarki
Wangsa 
• 1586—1755
Mataram
Kemerdekaan 
dari Pajang
Sejarah 
• Pemindahan kekuasaan
Demak ke Pajang
1549
• Babad Alas Mentaok
1556
• Adeging Nagari
15861
13 Februari 1755
Mata uangderham jawi dan dinar[1]
Didahului oleh
Digantikan oleh
Kesultanan Pajang
Kesunanan Surakarta
Kesultanan Yogyakarta
Hindia Belanda
Sekarang bagian dari Indonesia
^1 (1513 J/1586 M) Panembahan Senapati jumeneng ratu ing nagari Mataram[2]

Kesultanan Mataram (bahasa Jawaنَاڬَارِي كَسُلْطَانَن مَاتَارَام, ꦤꦴgaꦫꦷkaꦱꦸsuꦭ꧀ltanaꦤ꧀nmataꦫꦴꦩ꧀mtranslit. Nagari Kasultanan Matarambahasa IndonesiaNegara Kesultanan Matarambahasa Arabدولة نوبل ماتارام‎ Daulat Nuubil Mataramhar. 'Negeri Mataram yang Luhur') adalah negara berbentuk kesultanan di Jawa pada abad ke-16. Kesultanan ini didirikan sejak pertengahan abad ke-16, namun baru menjadi negara berdaulat di akhir abad ke-16 yang dipimpin oleh dinasti yang bernama wangsa Mataram.[3][4]

Sepanjang abad ke-16, tepatnya pada puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Anyakrakusuma, Mataram adalah salah satu negara terkuat di Jawa, kesultanan yang menyatukan sebagian besar pulau Jawa, yakni sebagian besar wilayah Jawa BaratJawa Timur dan Jawa Tengah kecuali Banten, selain itu juga menguasai daerah Madura, dan Sukadana (Kalimantan Barat) serta Pulau Sumatra (Palembang dan Jambi). Kesultanan ini terdiri dari beberapa wilayah inti mulai dari: kutagaranagaragungmancanagarapasisiran dan sejumlah kerajaan vasal, beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan beragam tingkat otonomi.[butuh rujukan]

Kesultanan ini secara de facto merupakan negara merdeka yang menjalin hubungan perdagangan dengan Kerajaan Belanda ditandai dengan kedua pihak saling mengirim duta besar. Anyakrakusuma di bawah kepemimpinannya tidak mengizinkan Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) untuk mendirikan loji-loji dagang di pantai utara. Hal ini ditolak karena bila diizinkan maka ekonomi di pantai utara akan dikuasai dan melemah. Penolakan ini membuat hubungan keduanya sejak saat itu merenggang.[butuh rujukan]

Menjelang keruntuhannya, Kesultanan Mataram menjadi negara protektorat Kerajaan Belanda, dengan status pzelfbestuurende landschappen.[butuh rujukan]

Perjanjian Giyanti membuahkan kesepakatan bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasunanan Surakarta dan Nagari Kasultanan Ngayogyakarta. Perjanjian yang ditandatangani dan diratifikasi pada tanggal 13 Februari 1755 di Giyanti ini secara de jure menandai berakhirnya Mataram.[5][6]

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Nama Mataram secara historis adalah nama kerajaan pra-Islam yang mengacu pada Kerajaan Mataram abad ke-8. Praktik umum di Jawa adalah menyebut kerajaan mereka dengan metonimia dan bervariasi dalam berbagai bahasa. Ada keragaman bahkan dalam bahasa. Dalam bahasa Sanskerta, Mataram berarti ibu, sedangkan istilah "Matawis" digunakan sebagai bentuk demonim dan kata sifat.

Berdasarkan sejarahnya, ada dua kerajaan yang pernah ada di periode yang berbeda dan keduanya disebut Mataram. Kerajaan selanjutnya, sering disebut sebagai Mataram Islam atau Matawis untuk membedakannya dari Kerajaan Mataram abad ke-8.[7]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pembentukan dan perkembangan[sunting | sunting sumber]

Adeging nagari[sunting | sunting sumber]

Kutagede, bekas ibu kota Kesultanan Mataram, didirikan pada tahun 1582 oleh Panembahan Senapati.

Pada seperempat abad ke-16 Masehi, wilayah Kesultanan Mataram merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Pajang. Statusnya sebagai kadipaten dengan penguasanya yaitu Ki Ageng Pamanahan. Setelah Panembahan Senapati berkuasa di Kadipaten Mataram, ia memisahkan wilayahnya dari Kesultanan Pajang dan mendirikan Kesultanan Mataram.[8] Kesultanan Mataram didirikan olehnya pada tahun 1586. Selanjutnya pada tahun 1586 wilayah Pajang sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Mataram diikuti penyerahan tahkta Pajang oleh Pangeran Benawa kepada Panembahan Senapati. Perkembangan Mataram begitu besar dan kuat sehingga sebagian besar sejarawan setuju bahwa itu telah didirikan selama beberapa generasi perintis Mataram.

Menurut catatan Jawa, raja-raja Mataram adalah keturunan dari Ki Ageng Sela (Sela adalah sebuah desa dekat Demak sekarang). Pada tahun 1570-an, salah satu keturunan Ki Ageng Sela, Kyai Gede Pamanahan dianugerahi kekuasaan atas tanah Mataram oleh raja Pajang, Sultan Adiwijaya, sebagai imbalan atas jasanya mengalahkan Arya Panangsang, musuh Adiwijaya.[9] Pajang terletak di kota Surakarta saat ini, dan Mataram awalnya adalah vasal dari Pajang.[4] Pamanahan sering disebut sebagai Kyai Gede Mataram. Seorang kyai adalah seorang ulama muslim yang berpendidikan tinggi dan cenderung disegani.

Sedangkan di Pajang, terjadi perebutan kekuasaan besar-besaran yang terjadi setelah Sultan Adiwijaya wafat pada tahun 1582. Pewaris Adiwijaya adalah Pangeran Benawa, digulingkan takhtanya oleh Arya Pangiri dari Demak, dan disingkirkan ke Jipang. Putra Pamanahan, Sutawijaya atau Panembahan Senapati, menggantikan ayahnya sekitar tahun 1584, dan dia mulai melepaskan Mataram dari kekuasaan Pajang. Di bawah Sutawijaya, Mataram tumbuh secara substansial melalui kampanye militer melawan penguasaan Mataram atas Pajang oleh Arya Pangiri, dan Pangeran Benawa dengan cepat menggalang dukungan untuk merebut kembali takhtanya dan merekrut dukungan Panembahan Senapati melawan Pajang. Selanjutnya, Pajang diserang dari dua arah: oleh Pangeran Benawa dan oleh Panembahan Senapati. Perang antara Pajang melawan Mataram berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Pangeran Benawa kemudian naik takhta di Pajang.[9] Selama periode itu tidak ada putra mahkota Pajang yang menggantikan Pangeran Benawa sehingga takhta Pajang diserahkan ke Panembahan Senapati. Kemudian yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning atau adik Panembahan Senapati. Peristiwa pada tahun 1586 ini menandai berakhirnya kerajaan Pajang dan berdirinya Nagari Kasultanan Mataram.

Kebangkitan Mataram[sunting | sunting sumber]

Pasarean Mataram, makam dari Panembahan Senapati dan Panembahan Seda ing Krapyak.

Sutawijaya menjadi pemimpin monarki dengan menyandang gelar "Panembahan" (secara harfiah berarti "orang yang dijunjung"). Dia mengungkapkan sifat pemerintahannya yang ekspansif dan mulai memproyeksasi manuver politiknya sesuai ketentuan, layanan, dan fungsi administrasi ke timur di sepanjang Bengawan Solo.[9] Pada 1590 menaklukkan Madiun, dan berbelok ke timur dari Madiun untuk menaklukkan Kediri pada tahun 1591 dan Ponorogo.[10] Pada saat yang sama ia juga menaklukkan Jipang dan Jagaraga (utara Magetan sekarang). Dia berhasil mencapai timur sejauh Pasuruan. Setelah berhasil menyatukan Jawa, Panembahan Senapati mengalihkan perhatiannya ke Jawa bagian barat, dengan menaklukkan Cirebon dan Galuh, menjadi vasal Mataram pada tahun 1595.[10] Usahanya untuk menaklukkan Banten pada tahun 1597 gagal, dikarenakan kurangnya transportasi air.[10] Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kota Gede, sebagai raja Jawa ia berhasil membangun fondasi negara baru yang kokoh. Penggantinya, Raden Mas Jolang atau yang kemudian bergelar sebagai Susuhunan Anyakrawati.[10]

Kontak pertama antara Mataram dan Belanda terjadi pada era Susuhunan Anyakrawati. Kegiatan Belanda pada saat itu hanya sebatas perdagangan dari pemukiman pesisir Jawa, sehingga interaksi mereka dengan wilayah pedalaman Jawa dibatasi, meskipun dibelakang mereka membentuk siasat untuk melawan Mataram. Panembahan Anyakrawati wafat karena kecelakaan sewaktu berburu rusa di hutan Krapyak. Dari peristiwa itu ia dikenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak (Panembahan yang Meninggal di Krapyak).

Masa kejayaan[sunting | sunting sumber]

Turnamen bela diri antara dua penunggang kuda bertombak di kerajaan Mataram, diadakan di alun-alun depan keraton.

Anyakrawati digantikan oleh putranya, Pangeran Martapura. Namun Martapura, kesehatannya buruk dan dengan cepat digantikan oleh saudaranya, Raden Mas Rangsang pada tahun 1613, yang menyandang gelar Susuhunan Anyakrakusuma, dan kemudian pada tahun 1641 mengambil gelar Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma (Sultan Agung).[10] Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Anyakrakusuma dikenang sebagai puncak kekuasaan Mataram, dan masa keemasan kekuasaan asli Jawa sebelum imperialisme Eropa pada abad berikutnya.

Pada 1641, utusan Jawa yang dikirim Anyakrakusuma ke Arab telah tiba setelah mendapat izin menyandang gelar "Sultan" dari Mekah. Nama dan gelar Islam yang diperolehnya dari Mekah adalah "Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarami".[11]

Pada 1645 Sultan Agung mulai membangun Imogiri, sebagai tempat pemakaman, sekitar lima belas kilometer selatan Yogyakarta. Imogiri tetap menjadi tempat peristirahatan sebagian besar keluarga Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta hingga sekarang. Sultan Agung wafat pada musim semi tahun 1646, meninggalkan sebuah negara yang ia bangun, membentang cakrawala sebagian besar Jawa, Madura, dan pulau-pulau sekitarnya.

Masa kemunduran[sunting | sunting sumber]


Struktur pemerintahan[sunting | sunting sumber]

Mataram memiliki struktur pemerintahan yang dipimpin oleh seorang susuhunan/sultan. Dalam konsep kenegaraan Jawa raja-raja Mataram disebutkan dengan konsep Keagungbinatharaan atau diungkapkan sebagai "gung binathara, bahu dhendha nyakrawati" (kekuasaan yang agung, memelihara hukum di muka bumi). Raja dikatakan "wenang wisesa ing sanagari" (memegang kuasa di negara). Dia harus "wicaksana" (bijaksana), bersifat "budi bawa leksana, ambeg adil para marta" (meluap budi luhur-mulia dan bersifat adil terhadap sesama), tugasnya "anjaga tata titi tentreming praja" (menjaga keteratutan dan ketenteraman negeri), agar tercipta suasana "karta tuwin raharja" (aman dan sejahtera).[12]

Amiril muminina sayyidina panatagami kyatira ning rat wus sineksen saking Ngarab, winenang among dirja ning rat

Pemimpin para mukmin tuan penata agama kemasyhurannya di jagad sudah disaksikan dari negeri Arab, diberi wewenang memomong keselamatan dunia

Serat Sastra Gending karya Sultan Agung

Kemasyhuran sultan Mataram telah dikenal sampai tanah Arab sebagai seorang pemimpin para mukmin di tanah Jawa. Sehingga penguasa Mekah waktu itu memberi gelar Sultan kepada raja Mataram. Inilah awal mula raja Mataram menggunakan gelar Sultan. Pemakaian gelar raja pada Mataram selain Sultan yaitu: PanembahanSusuhunan atau Sunan.

Anyakrakusuma mendapat gelar Sultan. Gelar tersebut dianugerahkan Sultan Murad IV yang diwakilkan syarif Mekah, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Anyakrakusuma ditahbiskan sebagai Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami, disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultan Agungan di Imogiri dengan nama Enceh Kyai Mendung.

Aparat birokrasi[sunting | sunting sumber]

Busana dari Kapten Prajurit Keraton Yogyakarta yang bergelar Bupati Enèm Wadana Prajurit, yang digunakan untuk upacara adat Grebeg. Busana ini diduga diturunkan dari busana kebesaran yang digunakan oleh bupati atau wedana yang menjabat di Kesultanan Mataram.

Struktur birokrasi kesultanan Mataram berdasarkan pada jabatan-jabatan yang disusun secara hierarki mengikuti sistem pembagian wilayah, meliputi: Susuhunan atau Sultan, gelar yang digunakan untuk merujuk pada kepala negara yang sedang bertakhta (jumeneng). Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan membentuk dan menempatkan pejabat dari tingkat pusat sampai daerah berdasarkan wilayah yang sudah dibagi. Kebijakan tersebut dilakukan untuk menciptakan kegiatan pemerintahan yang terkendali.

Dalam mengurusi rumah tangga karaton tugas diserahkan kepada seorang Wedana Lebet yang terdiri dari Wedana Gedong Kiwa, Wedana Gedong Tengen, Wedana Keparak Kiwa, dan Wedana Keparak Tengen. Para wedana tersebut dikepalai oleh Patih Lebet, dan setiap wedana dibantu oleh kliwon (asisten di bawah wedana), kabayan (asisten di bawah kliwon), dan 40 mantri jajar (salah satu sebutan untuk priyai di lingkungan karaton).[13]

Adapun untuk mengurusi pemerintahan di Nagaragung, sultan menyerahkannya kepada Wedana Jawi yang dikepalai oleh seorang Patih Jawi. Masing-masing wedana juga dibantu oleh kliwonkabayan, dan 40 mantri jajar. Semua wedana tersebut bertempat di Kutagara, sedangkan daerahnya di Nagaragung diserahkan kepada demang atau kyai lurah.[14]

Untuk mengurusi wilayah di luar Kutagara dan Nagaragung (pusat pemerintahan), di Mancagara Wétan maupun Mancagara Kilèn, sultan menempatkan para bupati yang dipimpin oleh Wedana Bupati baik di wilayah Mancagara maupun Pasisiran. Para bupati di wilayah Mancagara berpangkat Tumenggung atau Raden Arya, sedangkan di wilayah Pasisiran dikenal dengan Syahbandar yang memiliki pangkat Tumenggung, Kyai Demang, atau Raden Ngabehi. Para bupati Mancagara maupun Pasisiran berada dalam kordinasi dan bimbingan langsung dari Wedana Bupati.[12] Selain menempatkan bupati di wilayah Mancagara dan Pasisiran, sultan juga menempatkan bupati penting di wilayah pusat. Para bupati tersebut dijadikan staff ahli yang sewaktu-waktu diperlukan pertimbangannya.

Sebagai pengontrol gerak-gerik para lembaga negara maupun para bupati di daerah, maka sultan mengangkat dinas rahasia yang disebut telik sandi atau Abdi Kajineman.[15] Selain para pejabat tinggi pusat tersebut, di bawahnya masih terdapat sekitar 150 macam jabatan dibawahnya. Mereka dikhususkan ke dalam berbagai macam jabatan, mulai dari prajurit, panglima, pengadilan, keuangan, perlengkapan, kesenian, keagamaan, dan lainnya. Semua jabatan tersebut merupakan bentuk birokrasi sebagai pelaksana roda pemerintahan.[12]

Pembagian administratif[sunting | sunting sumber]

Struktur administratif Mataram menganut pola konsentris. Berdasarkan sudut pandang konsentris yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di Mataram, wilayah dibedakan dalam beberapa pembagian sebagai berikut:[14][16][17]

  • Kutagara (Kuta Nagara) meliputi:
  1. Siti Narawita (ibu kota), sebagai pusat pemerintahan.
  2. Karaton (istana), sebagai pusat kegiatan pemerintahan.
  • Nagaragung (Nagara Agung) merupakan wilayah yang mengitari Kutagara, wilayah ini dibagi menjadi empat bagian, meliputi:
  1. Daerah Siti Ageng atau Bumi Gede, suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak, kemudian dibagi menjadi daerah Siti Ageng Kiwa dan Siti Ageng Tengen. Terletak di sebelah barat daya Semarang, ± daerah Ungaran dan Kedungjati
  2. Daerah Siti Bumi atau Bumija yang terletak di sekitar daerah Kedu
  3. Daerah Siti Numbak Anyar yang terletak di sekitar daerah Bagelen
  4. Daerah Pajang, dibagi menjadi Panumping yang meliputi daerah Sukowati dan daerah Panekar yaitu daerah Pajang bagian timur.
  • Mancagara (Manca Nagara) merupakan wilayah di luar Nagaragung yang meliputi:
  1. Mancagara Wétan (Mancanegara Timur), dimulai dari Panaraga ke timur, yang meliputi Magetan, Madiun, Grobogan, Kaduwung, Jagaraga, Panaraga, Pacitan, Kediri, Jipang, Wirasaba, Blitar, Srengat, Lodaya, Pace, Nganjuk, Berbek, Cakuwu, Wirasari
  2. Mancagara Kilèn (Mancanegara Barat), dimulai dari Banyumas ke barat, yang meliputi Banyumas, Cilacap, Sumedang, Galuh, Priangan
  • Pasisiran (Pesisir) merupakan wilayah yang sebagian besar berada di pantai utara Jawa dan sebagian diantaranya diberikan otonomi tersendiri. Wilayah ini dibagi menjadi dua:
  1. Pasisiran Wétan (Pesisir Timur), dimulai dari Demak ke timur, yang meliputi Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Blambangan
  2. Pasisiran Kilèn (Pesisir Barat), dimulai dari Demak ke barat, yang meliputi Semarang, Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu, Karawang

Kedua wilayah, Mancagara Wétan dan Pasisiran Wétan, biasanya disebut sebagai Brang Wétan. Demikian pula untuk Mancagara Kilèn dan Pasisiran Kilèn disebut sebagai Brang Kilèn atau Brang Kulon. Struktur wilayah Mataram memiliki susunan yang teratur dengan wilayah kabupaten dan jumlah cacahnya disebutkan di dalam Pustaka Rajapuwara. Di samping beberapa wilayah di atas, terdapat tanah seberang (tanah sabrang: tanah yang berada di seberang laut), seperti Jambi, Palembang, Banjar, Kotawaringin dan Sukadana.

Budaya[sunting | sunting sumber]

Meskipun kerajaan Islam, Mataram tidak pernah mengadopsi budaya, sistem, dan institusi Islam secara menyeluruh. Sistem politiknya berakar dari peradaban Jawa asli yang digabungkan dengan unsur-unsur Islam. Kesultanan Mataram merupakan simbol berdirinya kekuatan sosial-politik Islam di Jawa yang menjadi titik peralihan sekaligus masa transisi dari masa Hindu-Buddha ke masa Kajawen (Ka-jawi-an). Mataram diakui mampu menyiarkan Islam secara kultural yang ditandai dengan perubahan besar pada masa Sultan Agung dalam mengadaptasikan agama dengan budaya lokal.

Islam dihadirkan di Jawa secara adaptif dengan budaya asli Jawa. Adaptasi kultural tersebut dapat diterima masyarakat Jawa, maka pribumisasi Islam dianggap berhasil karena Islam berkembang pesat di Jawa secara alamiah dan melalui proses kultural dari masyarakat Jawa itu sendiri.

Sejak saat itulah budaya Islam di Jawa lebih dikenal dengan istilah Kajawen (Ka-jawi-an) yang sarat dengan muatan sufistik dan mulai berkembang pesat. Kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Arab-Nya dari timur tengah mulai digubah dalam bahasa Jawa dengan diadakan adaptasi seperlunya terhadap alam pikiran Jawa tanpa kehilangan substansinya. Perpaduan dari berbagai sentral budaya ini telah menimbulkan karya-karya kreatif baru yang memperkaya khazanah sekaligus pengembang budaya Kajawen.

Daftar penguasa Mataram[sunting | sunting sumber]

Anyakrakusuma (Sultan Agung), salah satu sultan terbesar dari Mataram yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Para penguasa Mataram adalah keturunan dari Ki Ageng SelaKi Ageng Enis dan Ki Ageng Pamanahan, perintis dan pendiri wangsa Mataram bersama tokoh dari Sela lainnya yaitu Ki Juru Martani dan Ki Panjawi. Pada dasarnya penguasa Mataram mulanya bergelar panembahan kemudian susuhunan, gelar sultan baru resmi digunakan pada tahun 1641 pada masa kekuasaan Anyakrakusuma. Berikut adalah daftar penguasa Mataram:

NamaJangka hidupAwal memerintahAkhir memerintahKeluarga
Danang Sutawijaya
Panembahan Senapati
? – 160115861601Wangsa Mataram
Raden Mas Jolang
Anyakrawati
(Sunan Nyakrawati)
? – 161316011613Wangsa Mataram
Raden Mas Jatmika
Anyakrakusuma
(Sultan Agung)
1593 – 164516131645Wangsa Mataram
Raden Mas Sayyidin
Amangkurat I
(Sunan Tegalarum)
1618 – 13 Juli 167716461677Wangsa Mataram
Raden Mas Rahmat
Amangkurat II
(Sunan Amral)
? – 170316771703Wangsa Mataram
Raden Mas Sutikna
Amangkurat III
(Sunan Mas)
? – 173417031705Wangsa Mataram
Raden Mas Darajat
Pakubuwana I
(Sunan Ngalaga)
? – 171917041719Wangsa Mataram
Raden Mas Suryaputra
Amangkurat IV
(Sunan Jawi)
? – 20 April 172617191726Wangsa Mataram
Raden Mas Prabasuyasa
Pakubuwana II
(Sunan Kumbul)
8 Desember 1711 – 20 Desember 174917261742Wangsa Mataram
Raden Mas Garendi
Amangkurat V
(Sunan Kuning)
1726 – ?17421743Wangsa Mataram
Raden Mas Prabasuyasa
Pakubuwana II
(Sunan Kumbul)
8 Desember 1711 – 20 Desember 174917451749Wangsa Mataram

0 comments:

Post a Comment